Menengok Universitas Tertua Di Dunia
Umat Muslim memang pecinta ilmu. Universitas Al Azhar di Mesir adalah buktinya. Pengen tahu sejarahnya? Yuk, kita baca barengan!
أ¢â‚¬إ“Menuntut ilmu itu wajibأ¢â‚¬آ¦أ¢â‚¬? demikian sabda Nabi kita tercinta Muhammad saw. Ya, dari satu hadits itu saja kita jadi tahu bahwa Islam adalah agama yang cinta dan memuliakan ilmu dan membenci kebodohan. Maka nggak aneh dong kalau sejarah umat Muslim itu selalu dihiasi dengan berbagai karya ilmiah para ulama di berbagai disiplin ilmu, nggak melulu urusan agama.
Nggak cuma itu, para pemimpin Islam, baik tingkat khalifah ataupun para wali (gubernur) dan amil (setingkat bupati/walikota) juga giat membangun berbagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Nggak lain sebagai bagian program mencerdaskan anak bangsa. Selain gratis bermutu pula. Nggak kayak sekarang kali ye, banyak yang bermutu tapi nggak ada yang gratis. Mulai Baghdad di Irak, Cordoba di Spanyol sampai benua Afrika dihiasi berbagai sentra pendidikan, seni dan budaya. Pelajarnya juga nggak cuma umat Muslim, orang-orang kafir dari berbagai negeri juga ikutan kuliah, termasuk mengambil mata kuliah agama Islam seperti bahasa Arab, tafsir, ushul fiqih, dsb.
Nah, salah satu sentra pendidikan Islam itu berada di Kairo, Mesir. Universitas Al Azhar namanya. Dan kamu tahu nggak? Ternyata Al Azhar ini adalah perguruan tinggi tertua dan terkemuka di dunia. Selain itu, Al Azhar sudah meluluskan banyak ulama terkemuka di dunia Islam yang keitung jumlahnya. Sebut saja nama seperti DR. Yusuf Qardlawi, Syaikh Sayyid Sabbiq, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, Muhammad Al Ghazali, dan masih banyak lagi. Termasuk banyak juga sarjana-sarjananya adalah putra-putri Indonesia. Hebat kan?
Awalnya Mesjid
Pada mulanya Universitas Al Azhar أ¢â‚¬?cumaأ¢â‚¬â„¢ sebuah mesjid. Adalah seorang komandan pasukan perang dinasti Fathimiyyah yang tengah berkuasa di Mesir, yang bernama Jawhar As Siqilli yang pertama kali menggagas berdirinya mesjid Al Azhar. Mesjid itu dibangun selama dua tahun dimulai pada tahun 358 Hijriyyah. Selesai pada bulan Ramadlan 361 H, atau bertepatan pada tahun 972 Masehi. Pada tanggal 7 Ramadlan 361 H, shalat Jumat pertama kali dilakukan di mesjid yang bakal menjadi sejarah dunia tersebut.
Menurut catatan sejarah, Al Azhar adalah mesjid pertama yang di bangun di Kairo dan yang keempat di Mesir. Awalnya mesjid itu dibangun untuk menyebarkan doktrin Syiأ¢â‚¬â„¢ah yang memang waktu itu tengah berkuasa di Mesir, yakni dinasti Fathimiyyah. Kairo sendiri adalah kota ke empat yang dibangun di Mesir setelah Al Fustat oleh Amr bin Al Ash pada tahun 20 H (641 M), Al Azhar oleh Saleh bin Ali pada tahun 133 H (751 M) dan Al Qataie oleh Ahmad bin Toulloun pada tahun 256 H (870 M).
Para ulama tarikh (sejarah) berbeda pendapat soal asal-usul penamaan Al Azhar. Sebagian dari mereka menyebutkan nama itu diambil dari kegemilangan kota Kairo yang memang dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang megah. Sebagian lagi percaya nama Al Azhar diambil dari status mesjid itu yang berkembang menjadi sebuah sentra Islam. Sementara yang lain meyakini kalau nama mesjid itu diambil dari nama putri Nabi saw. Fathima Az Zahra, sebagai tanda kemuliaan dan kecintaan masyarakat dan para pemimpin dinasti Fathimiyyah padanya.
Dalam perjalanannya, mesjid Al Azhar mengalami perubahan bangunan utamanya oleh Gohar As Siqili masih dari dinasti Fathimiyyah. Pada mesjid tersebut dibentuk gaya Fathimiyyah yang unik, bagian ini terdiri dari 76 kolom batu pualam berwarna putih. Di belakang mihrab, kemudian dinasti Utsmaniyyah menambah 50 buah kolom batu marmer yang berkilau. Setelah itu Sultan Mameluk juga melakukan renovasi dan penambahan lagi pada Mesjid Al Azhar.
Pada abad ke-14 M, barulah ditambahkan sebuah sentra pendidikan Islam yang bernama Madrasah At Taibarsi atas perintah Pangeran Alauddin At Taibarsi. Sekolah itu sendiri mendapat perhatian serius dan diperlakukan isitmewa bak harta karun pada masa kekuasaan An Nasser bin Qalawoon. Madrasah lain yang bernama Al Aqbaghawi juga dibangun di komplek Mesjid Al Azhar. Baik At Taibarsi maupun yang Al Aqbaghawi sama-sama mengajarkan hukum-hukum Islam. Setelah itu madrasah ketiga yang juga dibangun oleh Jawhar al-Qanqabai.
Pada masa kekuasaan Sultan Mameluk, dilakukan proyek renovasi besar-besaran pada komplek Mesjid Al Azhar, di antaranya untuk membangun paviliun sebagai tempat penginapan bagi para pelajar. Penginapan itu sendiri diberikan untuk jangka waktu empat bulan bagi para pelajar. Setiap distrik di negeri Mesir dan negeri-negeri Islam lainnya mendapat jatah penginapan di paviliun tersebut.
Proyek renovasi mencakup penambahan area seluas 3.300 meter persegi, sehingga total area komplek Mesjid Al Azhar menjadi 7.800 meter persegi, yang dapat menampung sekitar 20 ribu orang jemaah shalat. Nggak diragukan lagi kalau proyek renovasi yang besar-besaran ini telah mengubah status Al Azhar menjadi sebuah sentra Islam yang terkenal dan menjadikan Mesir sebagai negeri yang terkemuka di seantero dunia Islam.
Ketika dinasti Utsmaniyyah yang berpusat di Turki memegang tampuk kekhilafahan, renovasi besar-besaran kembali dilakukan. Renovasi yang paling penting dilakukan oleh Amir Abdurrahman Katkhuda. Ia memperluas area mesjid di belakang mihrab bangunan yang asli dan menambahkan sebuah sebuah bagian muka mesjid yang baru yang sampai sekarang bisa kamu lihat kalau kamu sempat berkunjung ke sana. Amir Abdurrahman Katkhuda juga menambahkan tiga menara baru, dua di antaranya masih berdiri di sebelah selatan dan barat. Selain itu, ia juga menambahkan sebuah portal di sebelah selatan bagian muka mesjid, juga membangun kembali bagian depan madrasah Taybarsiyya dan mendirikan sebuah kubah di pojok tenggara perluasan mesjid. Bangunan lain yang ditambahkan pada mesjid adalah dapur tempat makanan disajikan yang berasal dari sumbangan para dermawan, serta kemudian dibangun juga sebuah ruangan tempat tinggal bagi para pelajar dan pengunjung dari kalangan tidak mampu.
Aktivitas Pendidikan di Al Azhar
Tiga setengah tahun setelah berdiri, Al Azhar mulai menjadi pusat pendidikan masyarakat. Pada bulan Ramadlan 365 H, bertepatan dengan bulan Oktober 975 M, pada masa kekuasaan Al Muiz, seorang ulama Syiأ¢â‚¬â„¢ah yang bernama Abu Al Hasan Ali bin An Nuأ¢â‚¬â„¢man El Kairawany, yang juga menjadi Kepala Pengadilan di Kairo, membahas kitab Al Ikhtisar sebuah buku karya ayah Abu Hanifa An Nuأ¢â‚¬â„¢man, seorang ahli fikih Syiأ¢â‚¬â„¢ah. Kegiatan ini diikuti oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Kegiatan ini kemudian diikuti dengan berbagai berbagai kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya dari berbagai kalangan ulama, khususnya Syiأ¢â‚¬â„¢ah.
Pada masa dinasti Fathimiyyah, Al Azhar menjadi bagian dari kehidupan intelektual. Selain acara kajian-kajian rutin, pendidikan akhlak bagi kaum wanita juga diadakan di sana. Al Azhar juga menjadi kantor resmi para hakim dan para akuntan pemerintah selama hampir 2 abad. Kejayaan Al Azhar bertambah terutama setelah menurunnya prestasi sentra pendidikan Islam di Baghdad dan Andalusia.
Pada tahun 1160-an kekuasaan dinasti Syiأ¢â‚¬â„¢ah Fathimiyyah kolaps digantikan kekuasaan kaum Sunni di bawah pemerintahan Saladdin. Waktu itu subsidi bagi pembangunan mesjid Syiأ¢â‚¬â„¢ah dan pendidikan mereka seketika terhenti. Untungnya pemerintah cepat tanggap. Ketika kesultanan Mamluk berkuasa berbagai pembangunan dan beasiswa kembali mengalir.
Ketika pasukan Mongol menyerang Asia Tengah dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin di Andalusia, Al Azhar mernjadi satu-satunya pusat pendidikan bagi para ulama dan intelektual muslim yang terusir dari negeri asal mereka. Para pelajar inilah yang kemudian berjasa mengharumkan nama Al Azhar sepanjang abad ke-8 dan 9 H (14 dan 15 M). Selain mengembangkan ilmu agama, para ulama dan intelektual juga mengembangkan pengetahuan di bidang kedokteran, matematika, astronomi, geografi dan sejarah.
Pada masa dinasti Utsmaniyyah, Al Azhar mampu mandiri, lepas dari subsidi negara. Hal ini dimungkinkan karena besarnya dana waqaf dan shadakah dari masyarakat. Para pelajar juga dapat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan mendapatkan buku-buku pengetahuan secara cuma-cuma. Hal ini semakin menarik perhatian para ulama dan pelajar untuk bergabung di Al Azhar. Demikian istimewanya Al Azhar sampai-sampai dinasti Utsmaniyyah memberikan kebebasan bagi rakyat Mesir untuk memilih sendiri Imam Besar bagi Al Azhar, tanpa campur tangan khalifah.
Kegiatan pendidikan di Al Azhar sempat terhenti ketika pasukan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte mengalahkan Mesir pada tahun 1213 H/1789 M. Napoleon sendiri menghormati Al Azhar para ulamanya. Bahkan ia membentuk semacam dewan yang terdiri dari sembilan syaikh untuk memerintah Mesir. Namun hal itu tidak menghentikan perang antara kaum muslimin di bawah pimpinan Syaikh Muhamad Al Sadat melawan imperialis Prancis. Melihat situasi waktu itu akhirnya Imam Agung Al Azhar dan para ulama sepakat untuk menutup kegiatan belajar di Al Azhar karena aktivitas jihad fi sabilillah.
Tiga tahun setelah pasukan Prancis keluar dari Mesir, barulah Al Azhar kembali dibuka. Namun kelihatannya para penguasa muslim telah kehilangan kejayaannya. Sampai-sampai ketika Muhammad Ali menguasai Mesir pada tahun 1220 H/1805 M, ia malah mengirim para pelajar Al Azhar untuk belajar ke Eropa untuk keperluan modernisasi dunia Islam. Meski begitu, tetap saja Al Azhar menjadi pusat pendidikan yang terbilang luar biasa bagi dunia Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar